Kepada kamu yang mengendap dalam darahku


Biasanya aku akan menuliskan tanya, kepada kamu meminta kepastian, menanyakan apa yang kamu rasa diatas sana, mengombang ambingkan perasaan tanpa merasa berdosa, lihat saja, kalimat barusan juga menyiratkan tanya berjejer dengan lebur kecewa. Atau sesekali aku meminta kamu duduk di kursi yang sama, menjejak tanah yang sama, menghirup udara dibawah langit yang sama juga. Kemudian aku bertanya, selalu berakhir dengan tanya, seperti apa rasanya? Kini aku juga akan bertanya, seperti apa menjadi dirimu? Dan pernahkah kamu mencoba kacamataku, memandang segalanya yang didepan, menengok ke belakang, dan sesekali melirik kiri dan kanan, mengintip spion untuk menuntunmu melangkah ke depan dalam bingkaiku, bingkai kacamataku. Apa yang kamu lihat? Bagaimana rasanya? Lihatlah, aku bertanya lagi. Tak henti-henti pertanyaan bergulir silih berganti. Aku pastikan aku tak pernah lelah, aku hanya khawatir kamu memilih mengalah, atau kebetulan lelah disusul jengah.

Kesempatan berikutnya jika tidak sedang ingin bertanya, jika sedang tidak bahagia, barisan kalimat gusar, banjir umpatan, atau sekedar dengusan diwakili huruf vokal panjang dan konsonan dibelakang. Apa kamu dapat membacanya? Menangkap maknanya? Merecap dalam guratan urat dibawah lidahmu, merasakan setiap keresahan dan kekalahan? Bahkan sebelum berperang, juga layu sebelum berkembang biasa aku menyebutnya. Atau hanya barisan huruf vokal dan konsonan yang sedikitpun kamu tak mampu mengalunkan suara ketika melihatnya? Benarkah? Sesederhana dengusan diwakilkan huruf-huruf saja tak mampu mengantarkan panasnya dada? Atau kau pura-pura tak dapat membacanya?

Sekali waktu aku ingin menyapa alam, berdialog, sambil mencoba membaca-baca apa yang mungkin tertinggal disana dan aku mampu membacanya. Jelas saja aku mampu melahap barisan-barisan sabda alam dihantarkan bayu yang berbisik pada dahan-dahan mengabarkan suar. Pasti para bidadari melambai-lambai di dudukan awan, mengalihkan perhatian dan membocorkan gambaran. Ketika ada lukisan, nyanyian bahkan hanya arsiran, terlampau indah, kadang rumit, aku hanya duduk memandang awang-awang, melemparkan pandangan kosong. Kemudian mengumpul tanya, berujung keluh kesah, karena ada saja jasa pengiriman ditengah indahnya alam dengan barisan nama, itu namamu. Selalu begitu, bagaimana redaksiku, apapun settingku, semua tertuju padamu.

Bahkan dalam barisan kalimat yang aku tuliskan sekarang, ada bagian dimana kamu bukanlah sumber cerita? Atau deretan peristiwa tanpa kamu didalamnya? Bukan kamu ujungnya? Konsep yang sudah matang saja, bisa berantakan karena kamu melebur sempurna dalam aliran darah merah. Bayangkan ketika otak memberi perintah, disana ada darah sebagai pengantar, bagaimana tidak ada kamu didalamnya? Jelas tidak mungkin, karena kamu melebur dalam darah. Hati memegang kendali mengalahkan logika, pernah tahu warna hati? Belah saja, ada apa disana? Iya....darah. Kamulah penghuninya. Ah....

Beribu tanya berujung kepadamu, keluh kesah, gerutu juga mengarah kepadamu. Mengalihkan pandangan pada keindahan alam, berakhir sendu karena kamu. Kenapa tidak kau ijinkan aku sekali saja mengecap bahagia tanpa dirimu, pergi dari hidupku, luruh bersama keringatku jangan mengendap dalam darahku, menguap dihembus sang bayu. Kalau bisa begitu, aku akan berlari memproduksi keringat mempercepat perginya kamu dalam darahku.

Tunggu...aku tidak sedang meminta bahagiaku kepadamu, atau meminta kamu membahagiakanku. Tidak...tidak...pergi saja dariku, mencair saja bersama keringatku, mengering bersama sang bayu. Itu tiket kebahagiaanku. Itu yang perlu kamu tahu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ke 20

Komentar

Postingan Populer