Kau pinjamkan atau kau berikan? Putuskan


Seperti kebiasaanku sedari aku masih disebut balita, aku duduk diantara tempat tidur dan lemari pakaianku menghadap kaca, muka masam, memeluk lutut kepala berpangku dagu. Kira-kira seperti itulah gambaran Ibuku tentang Rania balita yang selalu Ibu perdengarkan kepadaku, 20 tahun yang lalu. Hari ini aku mendapati bayangan diriku memandang kearahku dengan ekspresi nyaris sama. Lucu.

Seketika aku mengingat masa kecilku, mengambil posisi favoritku seperti hari ini ketika aku kehilangan sesuatu. Bisa apa saja, banyak benda yang aku koleksi, biasanya berganti-ganti karena tidak pernah ada barang kesayanganku yang bertahan lama. Bapakku orang super baik, seandainya ada orang yang meminta nyawanya, mungkin akan dia berikan, begitulah Bapakku. Aku rasa sifat ini yang menurun kepadaku, tidak pada kakakku. Barang-barang yang aku suka, meskipun itu adalah koleksi kesayanganku, aku tidak bisa mengatakan tidak. Siapa saja, bisa saudara, sepupu, keponakan, teman, sahabat bahkan anak pembantu.

Ibuku...dialah peredam marahku ketika itu, sampai hari ini. Setiap aku suka dengan hal baru, bando, tas, boneka, buku, CD lagu, baju, sepatu...ibu akan membelikan apa saja yang aku suka, syukurlah kami berasal dari keluarga berkecukupan. Bapak adalah pebisnis handal sementara Ibu dengan tangan dewa bawang ehehe bisa membuka bisnis kateringnya sendiri. Tidak heran aku sedikit gembul karena lezatnya semua masakan ibu. 

Didalam kamarku terdapat sudut koleksi, begitu aku memberi label dari kertas warna-warni yang aku bingkai rapi. Dalam seminggu, ada saja penghuni baru disana, dan dalam minggu yang sama pasti ada saja yang meminta barang-barang lama yang masih aku suka. Sesaat setelah mereka pulang, aku berlari menuruni tangga meneriakkan nama Ibuku “Ibu Rikaaaaaaaaa” entah kenapa ketika aku sedang sedih atau marah aku akan memanggil ibuku dengan embel-embel namanya. Berlari ke arahnya tidak peduli apa yang dilakukannya, aku memeluknya dari belakang tanpa kata-kata dan meneteskan airmata dibahunya. Sebentar, kemudian aku berlari lagi menuju kamarku dan kembali pada posisi favoritku, seperti sekarang ini. Masih memandangi kaca.

Derap langkah kaki Ibu menaiki anak tangga yang terdengar sangat hati-hati terdengar sangat jelas karena lantai kami tidak berperedam. Mendengar langkahnya saja aku sedikit lega, aku sudah bersiap-siap bercerita dan akan sedikit menangis manja didepan Ibuku tersayang.

“Kamu kehilangan apa lagi Rania?” itu...pertanyaan default sepanjang 25 tahun sejak aku mampu mengartikan setiap kata-kata yang diucap oleh orang dewasa. Suara ibu yang lembut seperti tante Rafika Duri dan tante Widyawati, aaahh membuatku ingin mendramatisir setiap kehilangan barang kesayanganku karena Ibu pasti memelukku dan akan membelikanku sesuatu yang baru, tentunya aku selalu meminta benda lain. Semacam aji mumpung.

Hari ini....

“Rania....ditanya Ibu koq diam saja?” aku tak bergeming dari posisiku.
“Hei, Tuhan memberikan telinga untuk mendengar, mulut untuk berbicara. Rania kenapa? Kehilangan apa?” lihatlah ibuku tercinta, selalu mengeluarkan bahasa manis seperti guru TK. Padahal aku sudah 25 tahun dan masih diperlakukan seperti usia balita.

“Ayo dong, cerita sama Ibu” diusapnya kepalaku sambil Ibu ikut bersimpuh disampingku, kami berdua saling berpandangan menghadap kaca.
"Raka bu....” jawabku menggantung
“Kenapa Raka? Dia berbuat jahat sama Rania?” mendengar pertanyaan itu aku mengangguk perlahan seperti ketika Ibu menanyakan aku menginginkan gulali berwarna pelangi di festival tahunan dikota kami. Bapak melarang, ibu terlalu sayang. Aku tahu kalau aku melanggar, dokter gigi adalah tujuan liburan berikutnya. Tapi aku sangat menginginkan, dengan hati-hati pasti Ibu menanyakan, dan aku mengangguk perlahan seperti sekarang.
“Jadi...apa yang dibuat jagoan Ibu, sampai-sampai putri Ibu memasang wajah jeleknya begini?” ah Ibu...dia selalu menyebut Raka jagoan meskipun aku sedang melipat muka karena dirinya.
“Raka tidak ingin bersama Rania lagi bu...entah alasan pastinya apa”
“Rania yakin?”
“Sebenarnya Raka sudah mengatakan ini dari bulan lalu, Rania ingin meyakinkan kepada Raka bahwa kita bisa menjalaninya sekali lagi, tapi Raka menolak” kataku lirih, sambil menahan tangis. Ibu mendengar sambil memberikan pelukan hangat, pelukan yang selalu Ibu berikan ketika dia akan membagi energinya kepada kedua putrinya. Hangat.
“Bu...Rania bukan hanya meminjamkan hati Rania kepada Raka, tapi Rania sudah memberikan hati Rania sepenuhnya kepada Raka. Kalau sekarang Raka memilih untuk tidak bersama Rania, sekarang Rania tidak punya hati lagi” meledaklah tangisku dipelukan Ibu. Pelukan Ibu semakin kencang dan sekarang semakin menenangkan.

Ibuku selalu mengatakan setiap aku kehilangan barang yang aku sayang.

Rania sayang...kalau kamu sudah berani meminjamkan barang kepada orang lain, setengah kemungkinannya adalah barang milik kamu tidak akan kembali, kalau kamu berniat meminta kembali, mintalah. Kalau kamu tidak ingin barang-barangmu hilang atau tidak kembali, maka jangan kamu pinjamkan kepada orang lain, atau disiplin kepada diri kamu sendiri untuk meminta kepada mereka. Lain halnya kalau kamu sudah berniat memberikan, pastikan akan hilang ketika orang tersebut menghilang.

Hari ini aku mengatakan hal yang sama kepada Ibu, tentang milikku, namun ini bukan hanya barang kesayanganku, tapi ini adalah HATI. Terlalu berlebihan mungkin, tapi memang benar apa yang aku katakan kepada Ibu, aku sudah memberikan hatiku kepada Raka, laki-laki yang bersamaku sejak kami duduk di tingkat dua. Kalimat Ibu tentang meminjamkan dan memberikan barang terus terngiang-ngiang dikepalaku. Karena sudah kuberikan hatiku, apa iya hatiku akan hilang dan tak akan kembali. Ah kepalaku mendadak pening, aku bersimpuh dipaha Ibuku yang sedikit gembul, tempat paling nyaman selain tempat tidurku.

Sepertinya Ibuku tahu betul harus bereaksi apa, dia mengelus rambutku dan membiarkanku menangis dalam pangkuannya. Damai.

“Rania...kamu ingin Ibu berbicara atau diam saja sambil menemanimu disini?” tanya Ibu hati-hati, Ibu tahu karena ini bukan bersinggungan dengan barang, pembicaraan kita sore ini sangat sensitif karena berbicara mengenai hati. Itu menurutku, aku yakin Ibu menganggap ini adalah mainan anak-anak, tapi syukurlah Ibuku memiliki keahlian diluar bayangan.
“Bicara saja bu...” lirih, cukup Ibu yang mendengarnya, bahkan kaca didepanku tak sempat memantulkan perubahan warna wajahku ketika mengatakannya.
“Dulu...kamu sering menangis karena barang-barang kesayanganmu dipinjam oleh Sasa. Belum tentu tidak kembali, tapi kamu sudah menangis. Belum tentu juga barang itu kembali, begitu katamu sambil menangis” tanpa berhenti mengusap rambutku, Ibu memperbaiki posisi duduknya, mungkin kesemutan. Aku tak beranjak.

“Awalnya kamu memang susah menerima kehilangan-kehilangan barang-barang kesayanganmu, bahkan kehilangan itu karena ulah kamu sendiri. Kak Tania lebih pelit dibanding kamu, itulah kenapa barang-barang kakak lebih banyak ketimbang kamu. Kak Tania belajar bagaimana mempertahankan apa miliknya, apa yang disayanginya. Tapi kamu...memilih belajar saling berbagi, belajar melepaskan apa yang kamu suka, apa yang kamu sayang. Keduanya bagus. Kamu ingat? Setelah boneka anak gajah yang dibawa Bapak dari Thailand, baru sebulan jadi penghuni kamarmu, datang Delia anak tante Dewi meminta boneka gajah berwarna pink yang sangat kamu suka, kamu berikan begitu saja, Ibu khawatir waktu itu, benar saja kamu menangis setelahya. Katamu, tidak ada gajah berwarna pink lagi di dunia, ibu geli tapi memang susah mencarinya di Jakarta. Setelah beberapa saat kamu bilang... “Ibu...kasian Delia, kan tante Dewi belum pernah ke Thailand, biar saja bonekanya buat Delia” Ibuku menceritakan bagaimana aku waktu kecil, berhasil. Tangisku reda, dadaku sedikit lega, aku tersenyum kecil membayangkan Rania kecil begitu lapang dada.
“Pati setelah itu, setelah kejadian-kejadian itu, kamu meminta kepada Ibu untuk dibelikan yang baru, entah kenapa kamu selalu minta barang yang lain, bukan barang yang sama dengan yang kamu berikan kepada Sasa, Delia, Yanti atau siapa saja” lanjut Ibu.

“Coba kamu ingat-ingat, apa yang kamu lakukan ketika kamu masih kecil, sebenarnya itulah proses kamu belajar ketika kamu dewasa seperti sekarang ini. Hal-hal seperti ini tidak diajarkan disekolah bukan?” Ibu melemparkan pertanyaan yang aku yakin itu tidak memerlukan jawaban.

“Ibaratkan hatimu adalah barang-barang kesayanganmu, berharga malah. Raka adalah sepupu-sepupumu yang kamu anggap sedikit kurang beruntung dibanding kamu. Kamu yang memutuskan untuk menjatuhkan hati kepada Raka, sama seperti kamu memutuskan untuk memberikan barangmu kepada sepupumu. Kamu sendiri yang menentukan itu dipinjamkan atau diberikan, iya bukan?”

“Lalu ketika barang-barangmu hilang, kamu akan menangis, sedih, menyesal, itu wajar. Nanti ketika kamu menyadari kebenarannya, kamu akan melepaskan dan mengikhlaskannya. Waktu itu kamu selalu meminta barang baru kepada Ibu yang tidak sama dengan barang yang sudah kamu berikan kepada mereka. Sekarang, karena ini urusan hati, yang menggantikan peran Ibu adalah Tuhan. Mintalah kepadaNYA. Tentu saja, mintalah barang baru seperti kebiasaanmu yang dulu. Bukan barang yang sama” 

Ya Tuhan....terbuat dari apa Ibuku ini? Aku terhenyak, beranjak dari pangkuan Ibu yang super nyaman. Aku menghapus air mata yang sedari tadi mengucur tiada henti. Entah kekuatan apa yang merasukiku hingga mampu menghentikan segala bentuk pilu yang sedari tadi bergemuruh. Aku peluk Ibuku, aku hujani dengan cium bertubi-tubi. Kami berdua tergelak saling melempar tawa.

Ah ibu....kali ini aku akan meminta barang baru bukan kepada Ibu melainkan kepada sang empunya Ibu, Tuhan. Benar-benar baru. Hatiku yang hilang terbawa Raka, akan diberikan yang baru oleh Tuhan. Terima kasih Ibu, I love you.

Komentar

Postingan Populer