Percuma


Sore itu didalam mobil sewaan sengaja kuputar lagu ini berulang-ulang mengiringi perjalananku untuk menemuimu kekasih hatiku.

aku yang merasakan…aku yang menyimpan…
aku yang tersakiti…
meski kau tak menyadari,,,
akankah waktu kan menjawabnya

Hhhh….kalimat yang ada di bagian reff lagu ini terus menggulung semua peristiwa beberapa bulan terakhir, sejak kepergianmu, kepindahanmu tepatnya, iya mutasi dalam rangka promosi kenaikan jabatanmu, sayang. Satu tahun yang lalu, kamu mengabarkan berita membahagiakan itu tepat pada hari jadi kita yang ke sebelas. Aku menangis haru, kupeluk, kuraih, kurengkuh tubuhmu. Aku menangis membasahi kemeja abu-abu kesayanganmu. Aku sungguh bahagia waktu itu. Sejak kita duduk di bangku SMP, aku sudah mengenalmu, sejak kamu menceritakan mimpi-mimpimu akan bekerja di ibu kota sejak saat itu aku menjadi kekasihmu, 12 tahun yang lalu.
Hari ini, aku menjadi sangat gelisah, sesekali air mataku menitik membasahi terusan hijau tosca-ku. Sesekali driver dari hotel melirikku melalui kaca spion, mungkin dia ingin menanyakan atau dia hanya sedang melihat mobil dibelakang, apakah mereka menjaga jarak aman berkendara, entahlah aku hanya mengingat semua peristiwa setahun belakangan.
Tujuanku ke Jakarta bukan karena bisnis trip, bukan juga untuk keperluan liburan seperti yang aku lakukan setahun belakangan, sejak saat itu aku atau kamu sebulan sekali akan saling mengunjungi. Ya…Jakarta – Surabaya hanya ditempuh waktu satu jam di udara, enam bulan pertama aku dan kamu mondar mandir Jakarta - Surabaya, semua sesuai keinginan, sampai suatu kali, dibulan ke tujuh kau mengatakan ini “Ina sayang, bulan ini aku tidak bisa pulang ke Surabaya” katamu dengan suara merdu seperti biasanya melalui telpon “ada kerjaan mas?” tanyaku kemudian. “Mas ada tugas selama sebulan training ke KL, makanya kamu juga ga bisa ke Jakarta sayang…” katamu mencoba menjelaskan. “Oh…baiklah mas, kita masih bisa bbm-an, semua dokumen sudah diurus kantor? Kalau mas perlu dokumen yang masih dirumah, nanti aku kirimkan” seperti biasa, aku selalu menanyakan keperluan – keperluan kamu. “Sudah sayang…semuanya sudah beres, nanti tanggal 29 mas berangkat, mas akan telpon kamu selagi mas bisa, atau via skype bisa kan? Sebulan mas ndak liat muka lucu kamu bisa kena stroke, repot” selorohmu mencoba menggodaku, seperti biasa kita akan larut dalam obrolan yang entah dari mana topik-topik yang kita bahas selalu saja menarik, bahkan setelah 11 tahun bersama.

Kepindahanmu ke Jakarta adalah siksaan terberat selama kita menjalin hubungan, ya aku tidak mengenal konsep LDR (Long Distance Relationship), bukan aku tidak percaya kamu sayang, aku hanya merasa tersiksa berada jauh dari kamu. Kamu laki – laki tampan menurutku, beberapa teman baru dikantor juga setuju kalau kamu adalah laki – laki tampan, tinggi, gagah, pintar ya kamu memang pintar. Lulusan terbaik di Fakulkas Komunikasi, nyaris sempurna 3,90. Aku bangga, aku memuja, aku mencinta sampai aku takut kehilangan kamu sayang. Apalagi jabatanmu sebagai Assisten Director of Sales and Marketing di sebuah Hotel bintang 5 dikawasan Jakarta Pusat, adalah alasan terbesarku kenapa aku takut kehilanganmu. Sekali ini, aku benar – benar berat melepasmu, meski aku menyembunyikannya dengan rapat. Aku tidak ingin menjadi halangan bagi karirmu, usiamu baru saja 25tahun, siapa sangka menjadi Assisten Director begitu mudah kau raih? Tidak ada alasan aku melakukan hal bodoh dengan menghalangimu menolak promosi itu, akulah orang pertama yang repot menyiapkan segala kepindahanmu. Aku ingin memastikan semuanya berjalan dengan baik, aku tidak ingin kamu kekurangan sehelai benangpun sebelum kamu memulai hari pertama kerja di Jakarta.

Hhhh….mungkin karena weekday, Jakarta begitu padat. Perjalanan dari Slipi menuju Apartemen kamu di bilangan Sudirman membuatku menderita. Entah karena macet atau memang hatiku penyebab penderitaan ini?. Pukul 4 aku sudah keluar dari hotel, meski bukan bisnis trip, aku sempatkan bertemu dengan klien ku yang kebetulan sedang berada di Jakarta, kesempatan langka pikirku, karena beliau menetap di Singapura. Meeting kecil itu baru selesai pukul setengah empat, aku memutuskan segera meluncur begitu selesai berbasa-basi, kulirik jamku ah sejam lagi jam kantor kamu berakhir, kamu janji hari ini akan pulang tepat waktu, kita bertemu di café tempat biasa kita menghabiskan waktu sebelum aku kembali ke Surabaya. Perjalanan ini aku tempuh hampir 3 jam. Jam tangan pemberianmu melingkar di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 19.05, syukurlah sudah di depan Monumen Nasional, sudah dekat pikirku, buru-buru aku keluarkan make up kit ku, sedikit touch up karena aku tidak ingin kamu melihat wajah kuyuku karena menangis sepanjang perjalanan. Aku menarik bibirku untuk tersenyum, driver melirikku dari kaca spion dan kulihat Pak Marno belakangan aku tau itu namanya, sedikit menyungging senyum memperlihatkan kelegaan di wajahnya.

Mas Dhito ku sayang, air mata kembali menetes membasahi terusan terbaikku malam itu. Hari ini tepat setahun kamu tinggal di Jakarta, sekarang kamu sudah menjadi Director Sales and Marketing termuda, 26 tahun. Lima bulan yang lalu, sejak kepulanganmu dari Kuala Lumpur, kamu berubah menjadi lebih sibuk karena jabatan yang akan kamu emban. Aku mengerti, tidak mengajukan tuntutan sedikitpun. Total tiga bulan kita tidak bertemu sejak kepulanganmu dari KL. Dua bulan lalu kamu pulang ke Surabaya, adakah hal paling membahagiakan selain melihatmu begitu tampan dengan balutan kemeja kotak-kotak yang sengaja kau gulung lengannya, celana jeans dengan sepatu kets warna senada. Mas, sudahkah aku mengatakan kalau kamu adalah laki-laki tampan, paling tampan malah. Aku tertawa geli mengingat wajahmu ketika pertama kali kita makan siang di kantin sekolah waktu kamu menyatakan perasaanmu 12 tahun yang lalu. Kamu menggenggam tanganku, membuyarkan lamunanku, ah senyummu selalu…selalu saja membuatku meleleh. Di tangan kirimu ada kotak bludru berwarna hitam, ah kamu selalu membawakan hadiah apa saja untukku, padahal kamu adalah hadiah paling membuatku bahagia sejak 12 tahun terakhir. Jam tangan yang aku tau harganya hampir seharga motor matic keluaran Jepang, wanita mana yang tidak senang mendapat hadiah?.
Tapi…setelah makan malam kamu memaksaku menelan duri, sakit. Begini katamu “Ina sayang, mas mempunyai kekasih. Tolong mas dhito” katamu tanpa kalimat pengantar, mobil menepi dipelataran taman kota, saat itu Surabaya dilanda gerimis. Sempurna pikirku, aku hanya tertegun tidak menoleh ke arah kemudi dimana mas dhito duduk manis. Suara kamu bergetar sayang, aku tau kamu sungguh meminta tolong. Komitmen kita adalah komunikasi, meski selama kita berhubungan mengalami beberapa kali pasang surut, tapi kali ini “memiliki kekasih” adalah kosakata baru selama 12tahun kita berhubungan. Pelan – pelan processor dikepalaku mencerna kalimat singkat mas dhito, bulir air mata menetes, satu…dua…kemudian yang terdengar  hanyalah isak tangisku. Seperti biasa, kamu merengkuhku dengan hangat. “Sejak kapan sayang?” tanyaku disela isak tangisku. “tiga bulan ina sayang” pelan sekali suaramu, atau tenggelam bersama isak tangisku. “apa yang bisa ina bantu mas?” kali ini aku memaksa untuk mendongak dan duduk, karena aku tau ini masalah besar. Waktuku tidak banyak, besok malam mas dhito harus kembali ke Jakarta, kutarik napas dalam-dalam. “berikan mas pilihan” katamu sambil menggenggam tanganku. Aku menggeleng, pilihan macam apa yang bisa aku ajukan? Haruskah kalimat yang sering muncul di sinetron – sinetron “kau pilih aku atau dia?” bagaimana kalau mas dhito memilih dia dan meninggalkan aku? Tangisku meledak, tidak berhenti sampai pukul 2 dini hari, kamu memutuskan untuk mengantarku pulang, setelah aku hanya terisak tanpa air mata.
Keesokan harinya, kita bertemu dirumahmu, aku membawa secarik kertas yang berisi kalimat termanis yang mampu aku tulis semalam dengan sisa tenaga.

Mas Dhitoku sayang, jika namamu yang tertulis di Lauhul Mahfudz untuk diriku, niscaya rasa cinta itu akan Allah tanamkan dalam diri kita, dan tidak akan hilang tanpa seijin-Nya. Tugasku bukan menjaga dirimu, kamulah yang harus menjaga diri dan hatimu. Begitupun aku. Selain tugasku adalah mensolehkan diriku.
Aku percaya kau sedang memperbaiki dirimu, memantaskan dirimu untuk menjadi imam bagi tulang rusukmu dan buah hatimu kelak. Jika orang itu bukanlah aku, tidak ada alasan aku untuk menahanmu. Aku tidak bisa memberikan pilihan seperti yang kamu minta, karena aku sendiri takut membayangkan apa yang akan kamu pilih kelak.
Kembalilah ke Jakarta, mintalah pada Allah apa yang terbaik untuk kita. Aku siap menerima.

Ina Sayang.

Begitu tulisku untuk kamu, dan kamu kembali ke Jakarta dengan pelukan paling erat, ciuman paling menyayat, air mata yang tak berhenti membanjiri pipimu, beribu maaf kau ucapkan sepanjang perjalanan sampai kau ditelan petugas bandara dan digiring ke pintu menuju ruang tunggu, dimana pesawatmu akan membawamu kembali kepada kekasih barumu. Aku sesak napas, kudapati diriku berada di klinik Bandara Juanda beberapa jam kemudian. Orang tuamu sengaja tidak memberitahumu, karena aku yang meminta.
Hari – hari setelah itu, adalah siksaan yang lebih sakit dibandingkan dengan perpisahanku denganmu sebelumnya. Kamu berusaha memperbaiki hubungan kita, namun kamu berterus terang kalau sampai detik ini kamu belum memutuskan kekasihmu itu. Meski kamu lebih sering pulang ke Surabaya, kali ini dua minggu sekali, setiap aku tanyakan bagaimana hubunganmu dengan Linda belakangan aku ketahui nama perempuan itu Linda setelah aku tak sengaja mencuri dengar saat kamu mengangkat telpon darinya, kamu menunduk lesu dan mengatakan kalau kamu belum memutuskan hubungan, karena kamu sedang terikat kerjasama dengannya. Ya aku mengerti, project ratusan juta membuatmu tidak bisa mengacaukan begitu saja. Belakangan aku mendengar kabar, bahwa Linda sering menginap di Apartemenmu, ada saja orang yang tak diminta mengabarkannya padaku. Berat badanku susut 10 kilo dalam waktu kurang dari dua bulan. Dua bulan setelah kamu mengatakan hubunganmu dengan Linda, aku memutuskan untuk mengambil keputusan, aku menelpon disela kesibukanmu. Aku akan ke Jakarta hari Rabu, aku menelponmu di hari Selasa malam, tanpa isak tangis aku katakan tujuanku. “Ina sayang, kita akan baik-baik saja” katamu mencoba meyakinkanku “Iya mas, Ina tau” hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan, kemudian aku letakkan gagang telpon rumahku.


Percuma semua ini percuma bila masih ada air mata
tak sanggup sungguh aku tak sanggup
jika masih sakit yang kau beri berakhir sudah atau aku akhiri saja
tak mungkin tak akan pernah mungkin bila masih ada pilu tersimpan
terjatuh dan akupun terjatuh jika masih perih yang tercipta
berakhir sudah atau aku akhiri saja
aku yang merasakan
aku yang menyimpan
aku yang tersakiti
meski tak kau menyadari
akankah waktu kan menjawabnya…

“bu…kita sudah sampai” kata Pak Marno membuyarkan tangisanku meresapi kata demi kata yang dilantunkan Bams Samsons. “oh iya, terima kasih Pak, nanti saya telpon Bapak kalau saya sudah selesai” kataku sambil mengusap air mata. Setelah membenahi make up sebentar dan mengecek apakah ada barang yang tertinggal, aku keluar melangkah menuju café langganan kita. Telapak tanganku basah, begitu juga telapak kakiku, itu kenapa aku memilih sandal terbuka, karena setiap aku tegang, telapak kaki dan tanganku banjir keringat.
Begitu aku keluar lift, kulihat sesosok laki – laki yang sangat aku kenal, Mas Dhito. Seperti biasa, balkon disisi kanan menjadi pilihan kamu, pasti kamu sudah memesan meja itu dari kemarin sejak aku menelpon. Pemandangan bundaran HI dimalam hari memang bagus, tapi itu tidak mengalihkan perhatianku, aku sudah mulai menangis, sejak keluar lift tadi. Pelayan café itu hanya tersenyum dan langsung menuntunku ke meja tempat kamu duduk. Kamu melihatku dengan sedikit kaget, benar saja 10kilo badanku menyusut. Dengan tinggiku 170 cm tadinya berat badanku 65 kg, kehilangan 10 kg dan bentuk tulangku yang besar-besar semakin memperlihatkan seberapa banyak daging dan lemakku menghilang. Lingkar mataku menghitam, pipiku sedikit peyot. Make up terbaikku dan baju terbaikku tidak mampu menutupi kehancuran dalam diriku. Kamu setengah berlari menghampiriku, memelukku dengan erat, menciumi kepala dan keningku. Aku hanya mematung dan terus menangis, pelayan meninggalkan kita berdua, sepertinya mereka sangat mengerti keadaan seperti ini. Setelah sedikit mereda, kita duduk. Seperti biasa, berhadapan. Bedanya kali ini aku tersenyum terpaksa, dan tidak ada buku baru yang kubawa. Hanya kedua jemariku saling meremas dengan mataku memandang sayu ke arahmu. “Ina, kamu sakit?” bodohnya kamu, menanyakan hal sedangkal itu, lihat saja badanku mas, kataku dalam hati. Ah aku baru sadar, kali ini kamu hanya menyebut namaku, tanpa sayang, atau gembil. Ya itu panggilan sayangmu untukku.
“Mas…” kuberanikan diri membuka pembicaraan, aku terhenti karena pelayan membawakan makanan kami, sepertinya kamu sudah memesan jauh sebelum aku datang.
“Mas…Ina sudah menemukan jawabannya. Ina akan melepaskan mas” kataku menahan tangis.
“Bukan Ina tidak mau bersabar, Ina sudah tidak kuat menahan. Tidak mampu menahan kamu, atau memaksakan keadaan menjadi seperti dulu. Dua bulan ini Ina berpikir, inilah jalan terbaik. Karena mas mampu bertahan selama 5 bulan dengan Linda, ternyata Ina yang tidak sanggup. Ayah dan Ibu belum tau, mereka hanya tau Ina sakit karena stress menghadapi Tesis S2 Ina. Mama Papa kamu, minggu kemarin dateng ke rumah Ina, mungkin kamu tidak tau, karena mereka bilang begitu. Mama Papa juga tidak tau keadaan kita sekarang. Waktu Mama Papa minta Ina untuk menerima lamaran ke Ayah dan Ibu, Ina kurang tau apa kelanjutannya, karena begitu bangun Ina ada di Rumah Sakit. Ina juga yang meminta mereka untuk tidak mengabarimu” aku berhenti untuk meminum air putih. Kulihat kau berkaca-kaca, rahangmu mengeras.
“Sebelum Ayah dan Ibu memberi jawaban, Ina mempertimbangkan segalanya. Itulah alasan kenapa Ina ke Jakarta” tenggorokanku tercekat, hening.
“Ina melepasmu mas, jangan melawan. Ina yang tidak sanggup. Kalaupun diteruskan, kalaupun mas meninggalkan Linda, Ina juga tidak yakin, apakah Ina mampu melupakan ini semua”
“Ina belum memutuskan apakah semua hadiah dari mas akan dikembalikan, eh Ina akan kembalikan kalau memang mas me…”
“Jangan” kamu memotong kalimatku
“Baiklah, Ina akan menyimpan baik-baik, mungkin suatu saat mas butuh” kulepaskan genggamanmu, aku menekan tombol HP menghubungi Pak Marno “Pak, sekarang” kudengar Pak Marno mengiyakan diseberang sana.
“Mas, jangan membantah. Ina melepaskanmu, sampai ketemu di Surabaya. Kita berdua akan menyampaikan ini ke Ayah, Ibu, Mama dan Papa. Berdua” kataku sambil berdiri, menahan air mata yang memang tidak mampu kubendung sedari tadi. Kamu mematung di kursimu, melihatku menghilang di dalam pelukan elevator box. Aku setengah berlari melihat mobil Pak Marno, aku menangis sejadi-jadinya didalam mobil. Aku berikan secarik kertas ke Pak Marno yang sudah aku siapkan sedari tadi.
“Pak, tolong bawa saya ke Hotel. Seandainya saya tidak sadarkan diri, bawa saya ke klinik atau rumah sakit dan hubungi teman saya Iman” entah apa yang terjadi setelah itu, yang aku tau aku terbangun keesokan harinya di Rumah Sakit Jakarta di kawasan Sudirman, dengan Iman disampingku.
Iman adalah laki-laki yang selalu mencoba mendekatiku, tujuh tahun belakangan aku sungguh mengagumi Iman sebagai laki-laki yang gigih untuk mendapatkan cintaku, namun aku tak bergeming. Aku hanya kekurangan cairan, atau mungkin karena sakit batin yang teramat sangat perih. Aku diijinkan pulang keesokan harinya, Iman mengantarku kembali ke Hotel dan memindahkanku ke rumahnya, Mama dan Papa Iman menerimaku dengan baik, atau mungkin mereka kasihan melihat tubuhku yang kurus dan pucat. Mas Dhito dan keluargaku tidak tau apa yang terjadi.
Kata seorang teman “Apa yang menjadi milikmu, akan menjadi milikmu pada akhirnya. Yang bukan milikmu, tidak akan menjadi milikmu apapun caramu menjaganya” kalimat yang diketahui semua orang berkat jasa motivator ulung yang sering muncul di televise dengan motivasi supernya, namun kalimat sesederhana itu membuatku sakit, teriris perih.
Di dalam kamar tamu dirumah Iman, aku menangis sejadi-jadinya, mungkin aku seperti orang gila. Histeris, menangis, hingga aku terlelap terserap kepedihan.

Komentar

Postingan Populer