Wanita yang (pernah) mengisi hati kekasihku
Kupandangi sekeliling kamarku, dari sudut berdiri lemari
dengan pintu geser dihiasi cermin berukuran sama dengan penampang lemari. Pintu
terbuka setengah, terlihat sisi lemari berisi baju panjang yang tergantung
dalam plastik laundry. Tempat tidurku berukuran 160 x 200cm berbungkus seprei
berwarna coklat gelap kesukaanku. Meja rias minimalis dengan kursinya yang
posisinya sudah sangat jauh dari lubang asalnya.
Aaaaarrrggghhhh.....aku sudah hampir dua minggu penuh
mempersiapkan hari ini. Bertanya pada Mba Nana tentang baju apa yang pas untuk
acaraku hari ini. Berjalan dari satu mall ke mall yang lain, hanya untuk
mencari baju yang sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Mba Nana, semuanya
serba sulit karena Mba Nana tidak bersamaku ketika itu, pekerjaan mengikatnya
erat-erat, apalagi akhir tahun seperti ini. Terpaksa aku harus pergi bersama
sahabatku yang penampilannya sama saja denganku, SANTAI KAYA DIPANTAI, begitu Jeje
bilang. Dia Jenifer, sahabatku sejak masih duduk di bangku SD, gaya berpakaian
kamu sama, kaos + jeans, jelasnya Jeje tidak banyak membantu. Meski akhirnya
aku dapatkan juga baju yang Mba Nana maksud.
Tapi hari ini....tetap saja kamarku seperti kapal pecah. Dari
sudut kanan tempat lemari berdiri, berserakan baju-baju yang aku coba sedari
tadi pagi. Belum lagi celana bahan, celana jeans, rok dan segala aksesorisnya
berserakan diatas tempat tidurku. Aaaarrggghh.....
Baju sudah aku beli baru untuk hari ini dari seminggu lalu,
sepatu sudah aku pinjam dari Mba Nana, untunglah kakak perempuanku yang satu
ini jauh lebih modis dari aku. Seharusnya...aku tidak perlu lagi membongkar isi
lemari Mba Nana dan menghamburkannya di segala penjuru kamarku. Seharusnya baju
yang sudah aku persiapkan seminggu yang lalu, adalah pilihanku. Bukannya tiba-tiba
meragu dan memporak porandakan seisi kamar.
Aku terduduk lemas dilantai, menyandarkan kepalaku di kaki
tempat tidur, lunglai, dan ini sedikit lebay.
Aku membolak-balik majalah remaja mencari lembar fashion, berharap
mendapat inspirasi baju apa yang pantas aku kenakan malam ini, nyatanya
kepalaku berputar makin kencang, kututup majalan dengan keras. Kupandang jam
dinding, huh sudah pukul empat sore. Pacarku akan menjemputku selepas maghrib,
aku hanya punya waktu dua jam untuk bersiap-siap. Aduh minta tolong siapa ini? Teriakku
dalam hati.
Sore ini udara di Jakarta sedikit bersahabat, terang, cerah
tapi tidak gerah. Tetap saja karena aku gugup keringat mengucur deras. Aku putuskan
untuk mandi lagi, iya tadi aku sudah mandi pukul setengah tiga.
Keluar kamar mandi kulihat Mba Nana sedang merapikan
baju-bajuku yang berserakan, hihiiihii aku malu, aku berhambur memeluknya
seperti bertemu dewa penyelamat.
“Mba, koq sudah pulang? Tumben..???” tanyaku sambil
mengenakan baju ganti, masih...aku belum menemukan baju yang pantas, jadi aku
memilih daster batik sementara aku akan berkonsultasi dengan Mba Nana.
“Bosnya mba hari ini ada meeting di Bali, tadi mba antar ke
bandara, semua kerjaan sudah beres jadi mba boleh pulang” kata Mba Nana sambil
melipat bajuku. Aku duduk disampingnya sambil cengar-cengir.
“Mau ada acara apa sih Kin, sampe berantakan begini” tanya
Mba Nana lagi.
“ehehehe ga ada acara khusus sih mba, Cuma ngumpul sama
temennya Mas Dika, paling-paling makan, nongkrong gitu-gitu aja” kataku dengan
muka malu.
“Oh...ya sudah, pake baju yang kamu beli kemarin aja, koq
repot”
“Iya sih mba, tapi...” aku tidak berniat meneruskan kalimat.
“Tapi...??? ada siapa disitu? Mantan pacarmu? Atau cowok yang
pernah kamu taksir?” mba Nana mencoba menebak.
“Bukan mba, tapi ada temennya Mas Dika. Dulu mereka dekat, aduh ga tau deh mba...nervousnya
kaya mau ujian akhir aja nih”
“ehehehe ya sudah, nanti dijemput jam berapa? Setengah jam
sebelum dijemput panggil mba, nanti mba yang dandanin. Sekarang mba mau mandi
dulu” ujar mba Nana sambil beranjak meninggalkan kamarku.
Apa???? Setengah jam sebelum dijemput? Wah parah mba Nana,
aku membutuhkan seharian untuk mematut diri, menentukan baju apa yang akan aku
kenakan, eh dia hanya butuh waktu setengah jam. Aku masih duduk bengong diatas
tempat tidurku, sampai setengah enam.
“Woi!!! Bukannya beresin kamarnya eh dia malah bengong. Ayo ganti
baju, bentar lagi Mas Dikamu jemput kan?” asli kaget waktu mba Nana memukul
pahaku.
Aku bergegas menyambar baju yang diberikan mba nina, tanpa
pikir panjang aku mengganti daster lusuhku dengan baju itu. Kupandangi diriku
didepan cermin. Ah...baju ini terlihat pas sekali dengan tubuh mungilku. Simple
dress berlengan pendek berwarna tan dengan detail bunga sepatu besar diujung
kanan bawah. Ah kenapa aku tidak memilih baju ini dari tadi pagi pikirku. Mba
Nana menambahkan kalung biksu (aku menyebutnya begitu karena biji-biji yang
dirangkai besar-besar seperti kalung-kalung biksu) berwarna hitam, flat shoes
warna hitam dengan manik biksu (lagi) tapi jauh lebih kecil yang dirangkai
menyerupai bunga diujungnya. Sling bag warna hitam berbahan bludru siap
menampung dompet dan handphoneku. Rambutku sengaja aku biarkan tergerai, karena
Mas Dika suka itu, aku tak menolak ketika mba Nana memoles lipstik warna pink
muda, nyaris tak terlihat pikirku. Sedikit sapuan bedak dan maskara aku pikir
tidak terlalu berlebihan. Ah benar saja, hanya butuh 15 menit, hebatnya kakakku
yang satu ini, atau aku yang kelewatan heboh? Berpikir persiapan begini saja
membutuhkan waktu paling tidak satu jam? Ehehehe
Aku duduk di depan tv menunggu Mas Dika, tepat 18.15 Mas Dika datang. Setelah berpamitan
kepada Ibu dan Ayah, kami meluncur meninggalkan Jalan Kemuning tempatku
tinggal. Kami membelah jalanan Jakarta menuju Sere Manis, restoran tempat kita
janjian. Ini adalah perjalanan terpanjang menurutku, terlama pula. Aku duduk
gelisah, alunan lagu di radio tak mampu menenangkan gemuruh yang tak tentu. Mas
Dika hanya senyum-senyum saja, selain dia memang agak pendiam, katanya malam
ini aku cantik dan dia juga tau kalau aku merasa canggung karena akan bertemu
Mba Laras.
Namanya Larasati Putri Dewi begitu yang aku tau. Dari jejaring
sosial, aku menjadi pengintip tetap karena aku tidak berani meminta dia jadi
temanku, waktu itu. Dia tinggi, kulitnya coklat khas kulit wanita Indonesia,
rambutnya hitam sepinggang dipangkas dengan model shaggy berponi samping, ah cantiknya.
Tanpa perlu aku jelaskan pun sebenarnya Mba Laras sudah ketahuan dari namanya,
Cantik.
Perjalanan dari Rawamangun menuju Sabang tempat dimana Sere
Manis berada, hanya ditempuh dengan waktu 30 menit, terasa berjam-jam
perjalanan ke Jogja ehehehe. Nah...kami berdua sudah berada di pelataran parkir
Sere Manis. Restoran ini minimalis, hangat dan tenang. Dinding full kaca,
dengan dikelilingi pohon bambu hias di luarnya, setiap angin berhembus, pohon
bambu bergerak gemulai mengikuti arah angin. Kami menuju lantai dua, dimana
teman-teman Mas Dika berada. Kugenggam tangan Mas Dika lebih erat tak seperti
biasanya, Mas Dika melihatku dengan senyum gantengnya. Begitu lift terbuka
*ting*....dunia berhenti beberapa detik. Mas Dika menarik tanganku, aku
mengikutinya. Kulihat segerombol anak muda, pasti ini teman Mas Dika.
Disana...ada wajah yang kukenal, rambutnya yang hitam dan
panjang dikuncir ekor kuda. Mengenakan baju berwarna hijau tosca, sederhana. Blouse
berpotongan leher sabrina dan celana dark blue jeans, kalung batu berwarna
senada, dengan clutch bag bergambar wanita jepang berwarna putih gading. Mengenakan
flat shoes kotak-kotak hijau tosca tidak menyembunyikan tubuhnya yang tinggi. Aku
menebak-nebak berapa tinggi Mba Laras?
“Hai....Laras” kaget ketika lamunanku harus buyar karena aku
sudah berada didepan Mba Laras yang sudah mengulurkan tangan dan menyebut
namanya dengan lembut. Astaga...siapa wanita ini, sederhana, cantik, matanya
begitu memikat, senyumnya...benar...benar jika dia adalah putri seorang dewi,
seperti namanya Larasati Putri Dewi. Aku membeku.
“eh oh hai mba...Kintan” jawabku gugup menyambut jabatan
tangan Mba Laras.
Ya...Mba Laras dan teman-teman Mas Dika yang lain menyenangkan,
sangat menyenangkan. Aku tidak dibiarkan bengong mendengar dan melihat mereka
berkelakar. Aku dilibatkan, aku senang. Obrolan kami bersembilan berhenti
karena sudah pukul sebelas malam, saat lampu sudah hampir dimatikan dan pelayan
restoran mengingatkan kami dengan sopan. Sampai dipelataran, kami memerlukan
waktu setengah jam untuk benar-benar bisa berpisah.
Ada yang janggal, ada yang mengganjal. Aku menganggap ada
yang tertinggal. Antara Mba Laras dan Mas Dika, meski mereka berhasil
bersandiwara, menyembunyikan rasa dibalik tawa. Ah...Mba Laras, aku saja jatuh
hati waktu pertama kali melihatmu, bukan melalui jejaring sosialmu. Cantik
sudah pasti, lembut dibagian tertentu, mendadak bisa terbahak dan tetap
terlihat menyenangkan tidak murahan. Obrolan apa saja kamu bisa membalasnya, menunjukkan
apa yang ada di kepala. Kata Mas Dika, Mba Laras berasal dari keluarga
sederhana, tapi sungguh, tidak terlihat begitu sederhana, karena keseluruhan
dirimu memancarkan aura putri mahkota. Tutur bahasamu tidak benar-benar kau
atur supaya teratur, tapi sungguh akupun jatuh cinta jika aku seorang pria.
Caramu memandang Mas Dika, santun. Mas Dika pun begitu.
Bahasa tubuh kalian berdua, mengatakan dengan jelas bahwa kedekatan kalian
sebelum kedatanganku memang istimewa. Ah Mba Laras...apa kau terluka? Tidak ketika
aku melihatnya, tapi aku merasakan getaran kecewa ketika Mas Dika meminta untuk
mengantarmu pulang, bersamaku tentu saja. Bagaimana Mas Dika begitu tega
meminta Mba Laras berada satu mobil denganku.
Aku yang masih mengingat wajah cantik Mba Laras, rambutnya,
tulang pipinya yang sempurna, dagu berbelah samar dan bibir tipisnya tidak ada
bekas kekeringan disitu.
Ah Mba Laras...apa yang membuat kamu dan Mas Dika tidak bisa
bersama? Aku tak kuasa menanyakannya, tidak denganmu ataupun Mas Dika. Apa
karena kedatanganku?
Sejak saat itu, aku mengidolakanmu terlebih lagi kita sering
berbincang entah via bbm atau Ym. Aku menyimpan nomer hapemu, ada banyak hal
yang bisa kita bicarakan kecuali tentang Mas Dika, aku menjaganya, mungkin kamu
lebih menjaga karena kamu lebih dewasa dan tau apa maknanya.
Larasati Putri Dewi...idola dalam memenangkan hati,
memelihara hati, entah pernah tersakiti atau bahkan hati hampir mati. Aku tak
pernah tau pasti.
::Januari 2012::
::Januari 2012::
Bagus..
BalasHapusmakasih evi...ada yg kurang ga? :D
HapusI like this dear. Jadi, karena itu anak kita (nanti) mau pakai nama Laras? :D
BalasHapusahahahah iya, waktu aku bbm request nama laras aku abis baca cerita ini lagi dan repost cerita ini lagi :)
Hapus