Terlambat
Titipan kata seorang teman yang sempat terekam dalam kepalaku, dan kali ini jemariku berusaha mengambilnya untuk dibagi.
*
Aku mencari partner dalam hidup, bukan pasangan.
Aku ingin bahagia, bukan mencari derita.
Dia harus ada disampingku, berjalan beriring bukan digiring atau menggiring. Bergandengan sebagai partner.
Jika dia tidak bisa memberi bahagia, jangan curiga atau membawa neraka dalam rumah tangga.
Kalau tidak bisa memberi bahagia, minimal tenang.
Tapi...daripada aku tidak bahagia, begini saja sendiri aku juga tidak bahagia, pun tidak menderita.
*
Kalimat - kalimat ini meluncur dalam setiap percakapan - percakapan kami dalam perjalanan pulang atau hanya sekedar makan siang. Suatu kali dia mendapati kekasihnya mengucapkan kalimat sederhana, namun menyakiti hatinya, ouh bukan menyakiti melainkan membuatnya berpikir ulang apakah dia yang akan dijadikan pemberhentian terakhir, apakah dia partner hidupnya? Dia kembali berpikir sambil berkata,
*
Entah apa yang salah dari perlakuanku sehingga dia bersikap semakin hari seolah kurang menghargai aku, sampai kalimat bernyawa curiga meluncur dari mulutnya.
Dia tidak tahu bahwa aku memutuskan dialah pemberhentian terakhirku.
Dia tidak tahu bahwa aku berubah tanpa dia minta, meskipun perubahanku itu dia tidak tahu juga.
*
Dan kamipun terdiam, ada pelajaran untukku dari serangkaian kalimat temanku. Kata - kata yang terlontar secara spontan dan mungkin kita menganggap itu biasa saja, dan berpikir selesai hanya dengan kata maaf, ternyata di sisi yang lain meninggalkan entah luka entah kecewa.
Terlambat, selalu terlambat untuk menarik kembali setiap kata yang telah terucap. Terlambat.
*
Aku mencari partner dalam hidup, bukan pasangan.
Aku ingin bahagia, bukan mencari derita.
Dia harus ada disampingku, berjalan beriring bukan digiring atau menggiring. Bergandengan sebagai partner.
Jika dia tidak bisa memberi bahagia, jangan curiga atau membawa neraka dalam rumah tangga.
Kalau tidak bisa memberi bahagia, minimal tenang.
Tapi...daripada aku tidak bahagia, begini saja sendiri aku juga tidak bahagia, pun tidak menderita.
*
Kalimat - kalimat ini meluncur dalam setiap percakapan - percakapan kami dalam perjalanan pulang atau hanya sekedar makan siang. Suatu kali dia mendapati kekasihnya mengucapkan kalimat sederhana, namun menyakiti hatinya, ouh bukan menyakiti melainkan membuatnya berpikir ulang apakah dia yang akan dijadikan pemberhentian terakhir, apakah dia partner hidupnya? Dia kembali berpikir sambil berkata,
*
Entah apa yang salah dari perlakuanku sehingga dia bersikap semakin hari seolah kurang menghargai aku, sampai kalimat bernyawa curiga meluncur dari mulutnya.
Dia tidak tahu bahwa aku memutuskan dialah pemberhentian terakhirku.
Dia tidak tahu bahwa aku berubah tanpa dia minta, meskipun perubahanku itu dia tidak tahu juga.
*
Dan kamipun terdiam, ada pelajaran untukku dari serangkaian kalimat temanku. Kata - kata yang terlontar secara spontan dan mungkin kita menganggap itu biasa saja, dan berpikir selesai hanya dengan kata maaf, ternyata di sisi yang lain meninggalkan entah luka entah kecewa.
Terlambat, selalu terlambat untuk menarik kembali setiap kata yang telah terucap. Terlambat.
Komentar
Posting Komentar